Senin, 27 Februari 2012

makalah



MAHKUM ALAIH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Desen Pengampu :

Oleh :
Linda Alfi Lutfinda          :  210067




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN  SYARI’AH / AS
TAHUN  2011
Mahkum Alaih

        I.            Pendahuluan
Hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukalaf, baik berupa perintah, larangan, memilih atau ketetapan. Dari definisi ini perlu di ungkap tentang pembentuk hukum syara’ (al Hakim) serta perbuatan orang-orang mukalla sebagaimana telah di uraikan. Kini tinggal masalah “mukallaf” yang melakukan perbuatan yang  belum dibicarakan dan merekalah yang disebut  al- mahkum  ‘alaih atau orang yang menjadi objek hukum, dalam istilah hukum disebut subjek hukum. Jadi mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf, karena dialah orang yang  perbuatanya dihukumi atau diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.
      II.            Rumusan Masalah
a.       Pengertian mahkum ‘alaih
b.      Syarat-Syarat Orang mukallaf
c.       Dasar taklif
d.      Kemampuan taklif
e.      Penghalang Ahliyah
    III.            Pembahasan
A.      Pengertian Mahkum ‘alaih
Para ulama’ Usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alai adalah seseorang yang perbuatanya dikenai hukum, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dikenai hukum. Dalam usul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih atau subjek hukum.
Orang mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan  perintah Allah atau berupa larangan-nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggung  jawabkan . Apabila ia mengerjakan perintah Allah, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belim terpenuhi.
B.      Syarat-syarat Orang  Mukallaf
        Untuk sahnya pentaklifan menurut  syara’di syaratkan dua syarat pada mukallaf, yaitu :
1.       Mukallaf yang dituntut melakukan hukum syara’ mampu memahami dalil taklif, baik dalil yang bersumber dari al Qur’an maupun sunnah. Orang yang belum mampu memahami dalil taklif tentunya tidak mungkin dapat melaksanakannya apa yang dibebankan kepadanya dan tidak dapat melaksanakan taklif sesuai yang dimaksud syara’, orang  yang tidak mengerti bahasa arab hendaklah belajar bahasa arab karena dengan di bebankan kepadanya atau melalui buku agama dalam bahasa yang mereka pahami.
Dalam khobah pada hujjatul wada’ Rasulullah bersabda :
Artinya :
                “Hendaklah menyampaikan orang yang hadir kepada orang yang tidak hadir”.  (HR. Muslim dari Abu Bakrah)
2.       Kemampuan memahami dalil. Hal ini tentunya erat hubungannya dengan perkembangan akal, karena akal merupakan alat untuk memahami dalil taklif dan orang yang  sempurna daya tanggapnya adalah orang  yang sudah mencapai baligh dan tidak menderita penyakit yang menyebabkan daya tangkapnya hilang atau trganggu. Karena itu anak kecil, orang gila, tidak dinamakan mukallaf  karena akalnya belum  atau tidak sempurna demikian juga orang yang lupa, orang yang tidur atau orang  yang mabuk karena akalnya tidak sempurna. Rasulullah bersabda :

Artinya :
 “ Diangkat kewajiban dari tiga orang  : orang tidur sampai bangun dari anak kecil sampai ia bermimpi dan dari orang gila sampai ia sembuh”.
C.      Dasar Taklif
Adapun dasar taklif  (pembebanan) adalah akal dan pemahaman. Akal yang mampu memahami itulah yang menjadi landasan taklif.
                Para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham, karena taklif (pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham seperti hewan, anak kecilataupun orang gila. Demikian yang seperti itu tidak mampu memehami taklif. Karena tujuan taklif tidak saja tergantung pada pemahaman dasar tuntutan, tetapi juga kepada pemahaman yang rinci atas tuntutan itu. Meskipun seorang anak sudah mendekati baligh namun karena akal dan , pemahaman itu merupakan sesuatu yang abstrak dan berkembang secara bertahap dan tidak ada tanda-tanda yang  jelas, maka Allah menetapkan suatu batas yaitu umur baligh.
Sabda Nabi Muhammad SAW : “digugurkan beban taklif itu atas tiga hal, anak sampai baligh, orang tidur sampai bangun, dan orang gila sampai sembuh”. ( al-ihkam fi ushul al-ahkam, oleh al-Amidy, juz 1, hal 115, 216 ).
D.      Kemampuan Taklif
Kemampuan (ahliyah) adalah kemampuan seorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya orang itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain,  menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melaksanakannya. Dengan demikian, kemampuan itu mengandung  dua  segi :
1.       Ahliyatul wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar keberadaannya karena ia seorang manusia.
2.       Ahliyatul ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap (tamyiz).
Kemampuan ini terwujud berdasar keberadaan seorang semata-mata sebagai manusia, baik sudah dewasa atau masih kanak-kanak, pandai atau tidak pandai, laki laki atau prempuan. Juga baik ia seorang merdeka atau budak. Meskipun hak orang merdeka lebih sempurna. Kemampuan ini tetap akan melekat  kepada setiap orang sampai mati.
Selanjutnya keberadaan Ahliyatul wujub itu bertahap sesuai dengan proses tahapan manusia. Nama-nama seseorang ada sebagai janin ( dalam kandungan) , kemudian bayi yang belum cakap, kemudian anak-anak yang cakap, kemudian sebagai orang dewasa yang cakap atau tidak cakap. Sewaktu masih janin, ahliyatul wujub belumlah sempurna dan baru menjadi sempurna setelah seorang lahir sebagai manusia.
ü  Kemampuan Kandungan (ahliyah janin)
Ahliyatul wujub pada janin masih bersifat kurang  (naqish), karena ia hanya mempunyai hak dan tidak dikenai kewajiban. Bahkan hak-hak janin pun masih tentatif, bisa hilang karena adanya dua faktor :
1.       Janin itu mempunyai kemungkinan hidup terus, dan kemungkinan lahir mati.
2.       Janin yang ada dalam kandungan  ibunya sudah diperhitungkan keberadaanya, meskipun secara fisik sebagai bagian dari ibunya. Karena secara fisik ia selalu mengikuti ibunya, maka syara’ menetapkan secara hukum yang terkena pada ibunya.
Berdasarkan kedua hal itulah sebagai bagian dari ibu dan kemungkinan berdiri sendiri . secara syara’ ia di beri hak namun tidak dikenai kewajiban.
ü  Kemampuan Anak Yang  Lahir
Begitu lahir, seorang  akan memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara sempurna, baik ia cakap atau tidak cakap. Hak-hak itu antara lain :
1.       Dia dapat menanggung beban penggunaan harta yang dilakukan oleh wali, baik secara syara’ maupun undang-undang, tetapi ditanngungkan sampai ia dipandang cakap.
2.       Dalam hartanya terkena kewajiban-kewajiban, seperti pajak dan ushur.
3.       Dalam hartanya terkena kewajiban nafkah keluarga.
4.       Hartanya menjadi penebus biaya hidupnya yang diurus ileh orang lain, karena termasuk dalam tanggunganya adalah kewajiban yang bersifat harta meski tidak untuk ibadah.

ü  Ahliyatul Ada’
Ahliyatul ada’ ialah kemampuan bekerja, yaitu apabila seseorang telah pantas untuk menerima haknya sendiribdan melahirkan hak atas orang lain karena perbuatannya. Masa datangnya Ahliyatul Ada’ itu menurut syara’ berlaku bersama dengan tibanya usia taklif yang dibatasi dengan aqil (berakal) dan baligh (dewasa).
                Bila akal sempurna maka ahliyatul ada’ sempurna dan bila kurang sempurna maka ahliyatul ada’ berkurang pula, dan bila akal tidak ada maka hlang pula ahliyatul ada’. Konsekuensi dari hal ini ada dua :
1.       Ahliyatul ada’ , terbagi menjadi 2 :
a.       Ahliyatul ada’ sempuran (tam), yaitu ketika  seseorang  yang berakal telah mencapai umur dewasa (baligh), dinisbahkan untuk hukum syara’, dan balighnya orang  yang  cakap dinisbahkan untuk mu’amalah harta (perdata).
b.      Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish), yaitu anak yang cakap dan semisalnya dinisbahkan untuk mu’amalah harta dan perikatan.
2.       Setelah seorang manusia lahir, dinisbahkan kepada  ahliyatul ada’ ini, akan mengalami tiga fase :
a.       Fase pertama, dari lahir sampai mempunyai kecakapan (tamyiz). Artinya saat itu ia adalah anak yang tidak cakap belum berakal sehingga perbuatannya belum  dianggap sebagai tindakan hukum.
b.      Fase kedua, masa setelah cakap (tamyiz) sampai dewasa (baligh) yang dimulai dari sekitar umur tujuh tahun. Pada saat fase ini dia sudah memiliki  akal yang telah berfungsi untuk mengetahui sesuatu tetapi masih kurang  (naqish) sehingga Ahliyatul ada’ baginya belum sempurna.
c.       Fase ketiga, fase mencapai usia dewasa dengan keadaan berakal. Pada masa ini seseorang dikenai  seluruh taklif  (beban) keagamaan. Seperti shalat, puasa, zakat an lainya. Segala perbuatannya akan dikenai hukum, seperti membunuh, berzina, mencur dan lainnya. Dia akan dikenakan hukuman dan siksaan menurut  syara’ apabila melanggar atau mengerjakan hal-hal yang akan mendatangkan hukuman dan siksaan itu.
E.       Penghalang  Ahliyyah
Telah di kemukakan bahwa ahliyyah  wujub tetap pada manusia. Dan manusia semenjak usia baligh memperoleh ketetapan ahliyyah ada’ yang sempurna,  hanya  saja ahliyyah ini terkadang  terhalang  oleh beberapa penghalang, diantaranya adalah :
1.       Penghalang samawi, yang tidak ada usaha  manusia dan ikhtiyarnya padanya,  seperti gila, agak kurang waras akalnya dan lupa.
2.       Penghalang khasbi, yaitu yang terjadi karena usaha dan ikhtiyar manusia , seperti mabuk, bodoh, hutang.
    IV.            Kesimpulan
Ø  Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai hukum. Yang disebutkan dengan mukallaf.
Ø  Mahkum alaih di sebut juga dengan subjek hukum.
Ø  Mukallaf adalah orang  yang  dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun  larangannya.
Ø  Syarat orang mukallaf ada 2 :
1.       Mukallaf yang dituntut melaksanakan hukum syara’ mampu memahami dalil  taklif.
2.       Kemampuan memahhami dalil.
Ø  Dasar  taklif adalah akal dan pemahaman. Akal yang manpu memahami itulah yang menjadi landasan taklif.

Ø  Kemampuan taklif ada 2 :
1.       Ahliyatu l wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak.
2.       Ahliyatul  ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang  lain.
Ø  Penghalang ahliyyah :
1.       Penghalang  samawi, yang tidak ada usaha manusia dan ikhtiyarnya padanya, seperti gila dan lupa.
2.       Penghalag  khasbi, yaitu terjadi karena usaha manusia dan ikhtiyar manusia, seperti bodoh, mabuk, hutang.
      V.            Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan untuk memenuhi tugas “Ushul Fiqh”.  Semoga apa yang kami tulis dapat  bermanfaat dan menambah ilmu kita semua. Kurang lebihnya isi makalah ini, kami mohon maaf.
    VI.            Refrensi
Ø  Prof.  Abdul Wahab  Khalaf.  1994. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama. Semarang.
Ø  Drs.  H. Syafi’i  Karim. 2001.  Fiqih-Ushul Fiqih. CvV. Pustaka setia. Bandung.
Ø  Drs. Khaerul Umam, Dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Pustaka setia. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar