Senin, 27 Februari 2012

makalah



MAHKUM ALAIH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Desen Pengampu :

Oleh :
Linda Alfi Lutfinda          :  210067




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN  SYARI’AH / AS
TAHUN  2011
Mahkum Alaih

        I.            Pendahuluan
Hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukalaf, baik berupa perintah, larangan, memilih atau ketetapan. Dari definisi ini perlu di ungkap tentang pembentuk hukum syara’ (al Hakim) serta perbuatan orang-orang mukalla sebagaimana telah di uraikan. Kini tinggal masalah “mukallaf” yang melakukan perbuatan yang  belum dibicarakan dan merekalah yang disebut  al- mahkum  ‘alaih atau orang yang menjadi objek hukum, dalam istilah hukum disebut subjek hukum. Jadi mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf, karena dialah orang yang  perbuatanya dihukumi atau diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.
      II.            Rumusan Masalah
a.       Pengertian mahkum ‘alaih
b.      Syarat-Syarat Orang mukallaf
c.       Dasar taklif
d.      Kemampuan taklif
e.      Penghalang Ahliyah
    III.            Pembahasan
A.      Pengertian Mahkum ‘alaih
Para ulama’ Usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alai adalah seseorang yang perbuatanya dikenai hukum, yang disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dikenai hukum. Dalam usul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih atau subjek hukum.
Orang mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan  perintah Allah atau berupa larangan-nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggung  jawabkan . Apabila ia mengerjakan perintah Allah, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belim terpenuhi.
B.      Syarat-syarat Orang  Mukallaf
        Untuk sahnya pentaklifan menurut  syara’di syaratkan dua syarat pada mukallaf, yaitu :
1.       Mukallaf yang dituntut melakukan hukum syara’ mampu memahami dalil taklif, baik dalil yang bersumber dari al Qur’an maupun sunnah. Orang yang belum mampu memahami dalil taklif tentunya tidak mungkin dapat melaksanakannya apa yang dibebankan kepadanya dan tidak dapat melaksanakan taklif sesuai yang dimaksud syara’, orang  yang tidak mengerti bahasa arab hendaklah belajar bahasa arab karena dengan di bebankan kepadanya atau melalui buku agama dalam bahasa yang mereka pahami.
Dalam khobah pada hujjatul wada’ Rasulullah bersabda :
Artinya :
                “Hendaklah menyampaikan orang yang hadir kepada orang yang tidak hadir”.  (HR. Muslim dari Abu Bakrah)
2.       Kemampuan memahami dalil. Hal ini tentunya erat hubungannya dengan perkembangan akal, karena akal merupakan alat untuk memahami dalil taklif dan orang yang  sempurna daya tanggapnya adalah orang  yang sudah mencapai baligh dan tidak menderita penyakit yang menyebabkan daya tangkapnya hilang atau trganggu. Karena itu anak kecil, orang gila, tidak dinamakan mukallaf  karena akalnya belum  atau tidak sempurna demikian juga orang yang lupa, orang yang tidur atau orang  yang mabuk karena akalnya tidak sempurna. Rasulullah bersabda :

Artinya :
 “ Diangkat kewajiban dari tiga orang  : orang tidur sampai bangun dari anak kecil sampai ia bermimpi dan dari orang gila sampai ia sembuh”.
C.      Dasar Taklif
Adapun dasar taklif  (pembebanan) adalah akal dan pemahaman. Akal yang mampu memahami itulah yang menjadi landasan taklif.
                Para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham, karena taklif (pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham seperti hewan, anak kecilataupun orang gila. Demikian yang seperti itu tidak mampu memehami taklif. Karena tujuan taklif tidak saja tergantung pada pemahaman dasar tuntutan, tetapi juga kepada pemahaman yang rinci atas tuntutan itu. Meskipun seorang anak sudah mendekati baligh namun karena akal dan , pemahaman itu merupakan sesuatu yang abstrak dan berkembang secara bertahap dan tidak ada tanda-tanda yang  jelas, maka Allah menetapkan suatu batas yaitu umur baligh.
Sabda Nabi Muhammad SAW : “digugurkan beban taklif itu atas tiga hal, anak sampai baligh, orang tidur sampai bangun, dan orang gila sampai sembuh”. ( al-ihkam fi ushul al-ahkam, oleh al-Amidy, juz 1, hal 115, 216 ).
D.      Kemampuan Taklif
Kemampuan (ahliyah) adalah kemampuan seorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak. Artinya orang itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain,  menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas untuk melaksanakannya. Dengan demikian, kemampuan itu mengandung  dua  segi :
1.       Ahliyatul wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar keberadaannya karena ia seorang manusia.
2.       Ahliyatul ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap (tamyiz).
Kemampuan ini terwujud berdasar keberadaan seorang semata-mata sebagai manusia, baik sudah dewasa atau masih kanak-kanak, pandai atau tidak pandai, laki laki atau prempuan. Juga baik ia seorang merdeka atau budak. Meskipun hak orang merdeka lebih sempurna. Kemampuan ini tetap akan melekat  kepada setiap orang sampai mati.
Selanjutnya keberadaan Ahliyatul wujub itu bertahap sesuai dengan proses tahapan manusia. Nama-nama seseorang ada sebagai janin ( dalam kandungan) , kemudian bayi yang belum cakap, kemudian anak-anak yang cakap, kemudian sebagai orang dewasa yang cakap atau tidak cakap. Sewaktu masih janin, ahliyatul wujub belumlah sempurna dan baru menjadi sempurna setelah seorang lahir sebagai manusia.
ü  Kemampuan Kandungan (ahliyah janin)
Ahliyatul wujub pada janin masih bersifat kurang  (naqish), karena ia hanya mempunyai hak dan tidak dikenai kewajiban. Bahkan hak-hak janin pun masih tentatif, bisa hilang karena adanya dua faktor :
1.       Janin itu mempunyai kemungkinan hidup terus, dan kemungkinan lahir mati.
2.       Janin yang ada dalam kandungan  ibunya sudah diperhitungkan keberadaanya, meskipun secara fisik sebagai bagian dari ibunya. Karena secara fisik ia selalu mengikuti ibunya, maka syara’ menetapkan secara hukum yang terkena pada ibunya.
Berdasarkan kedua hal itulah sebagai bagian dari ibu dan kemungkinan berdiri sendiri . secara syara’ ia di beri hak namun tidak dikenai kewajiban.
ü  Kemampuan Anak Yang  Lahir
Begitu lahir, seorang  akan memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara sempurna, baik ia cakap atau tidak cakap. Hak-hak itu antara lain :
1.       Dia dapat menanggung beban penggunaan harta yang dilakukan oleh wali, baik secara syara’ maupun undang-undang, tetapi ditanngungkan sampai ia dipandang cakap.
2.       Dalam hartanya terkena kewajiban-kewajiban, seperti pajak dan ushur.
3.       Dalam hartanya terkena kewajiban nafkah keluarga.
4.       Hartanya menjadi penebus biaya hidupnya yang diurus ileh orang lain, karena termasuk dalam tanggunganya adalah kewajiban yang bersifat harta meski tidak untuk ibadah.

ü  Ahliyatul Ada’
Ahliyatul ada’ ialah kemampuan bekerja, yaitu apabila seseorang telah pantas untuk menerima haknya sendiribdan melahirkan hak atas orang lain karena perbuatannya. Masa datangnya Ahliyatul Ada’ itu menurut syara’ berlaku bersama dengan tibanya usia taklif yang dibatasi dengan aqil (berakal) dan baligh (dewasa).
                Bila akal sempurna maka ahliyatul ada’ sempurna dan bila kurang sempurna maka ahliyatul ada’ berkurang pula, dan bila akal tidak ada maka hlang pula ahliyatul ada’. Konsekuensi dari hal ini ada dua :
1.       Ahliyatul ada’ , terbagi menjadi 2 :
a.       Ahliyatul ada’ sempuran (tam), yaitu ketika  seseorang  yang berakal telah mencapai umur dewasa (baligh), dinisbahkan untuk hukum syara’, dan balighnya orang  yang  cakap dinisbahkan untuk mu’amalah harta (perdata).
b.      Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish), yaitu anak yang cakap dan semisalnya dinisbahkan untuk mu’amalah harta dan perikatan.
2.       Setelah seorang manusia lahir, dinisbahkan kepada  ahliyatul ada’ ini, akan mengalami tiga fase :
a.       Fase pertama, dari lahir sampai mempunyai kecakapan (tamyiz). Artinya saat itu ia adalah anak yang tidak cakap belum berakal sehingga perbuatannya belum  dianggap sebagai tindakan hukum.
b.      Fase kedua, masa setelah cakap (tamyiz) sampai dewasa (baligh) yang dimulai dari sekitar umur tujuh tahun. Pada saat fase ini dia sudah memiliki  akal yang telah berfungsi untuk mengetahui sesuatu tetapi masih kurang  (naqish) sehingga Ahliyatul ada’ baginya belum sempurna.
c.       Fase ketiga, fase mencapai usia dewasa dengan keadaan berakal. Pada masa ini seseorang dikenai  seluruh taklif  (beban) keagamaan. Seperti shalat, puasa, zakat an lainya. Segala perbuatannya akan dikenai hukum, seperti membunuh, berzina, mencur dan lainnya. Dia akan dikenakan hukuman dan siksaan menurut  syara’ apabila melanggar atau mengerjakan hal-hal yang akan mendatangkan hukuman dan siksaan itu.
E.       Penghalang  Ahliyyah
Telah di kemukakan bahwa ahliyyah  wujub tetap pada manusia. Dan manusia semenjak usia baligh memperoleh ketetapan ahliyyah ada’ yang sempurna,  hanya  saja ahliyyah ini terkadang  terhalang  oleh beberapa penghalang, diantaranya adalah :
1.       Penghalang samawi, yang tidak ada usaha  manusia dan ikhtiyarnya padanya,  seperti gila, agak kurang waras akalnya dan lupa.
2.       Penghalang khasbi, yaitu yang terjadi karena usaha dan ikhtiyar manusia , seperti mabuk, bodoh, hutang.
    IV.            Kesimpulan
Ø  Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai hukum. Yang disebutkan dengan mukallaf.
Ø  Mahkum alaih di sebut juga dengan subjek hukum.
Ø  Mukallaf adalah orang  yang  dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun  larangannya.
Ø  Syarat orang mukallaf ada 2 :
1.       Mukallaf yang dituntut melaksanakan hukum syara’ mampu memahami dalil  taklif.
2.       Kemampuan memahhami dalil.
Ø  Dasar  taklif adalah akal dan pemahaman. Akal yang manpu memahami itulah yang menjadi landasan taklif.

Ø  Kemampuan taklif ada 2 :
1.       Ahliyatu l wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak.
2.       Ahliyatul  ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang  lain.
Ø  Penghalang ahliyyah :
1.       Penghalang  samawi, yang tidak ada usaha manusia dan ikhtiyarnya padanya, seperti gila dan lupa.
2.       Penghalag  khasbi, yaitu terjadi karena usaha manusia dan ikhtiyar manusia, seperti bodoh, mabuk, hutang.
      V.            Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan untuk memenuhi tugas “Ushul Fiqh”.  Semoga apa yang kami tulis dapat  bermanfaat dan menambah ilmu kita semua. Kurang lebihnya isi makalah ini, kami mohon maaf.
    VI.            Refrensi
Ø  Prof.  Abdul Wahab  Khalaf.  1994. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama. Semarang.
Ø  Drs.  H. Syafi’i  Karim. 2001.  Fiqih-Ushul Fiqih. CvV. Pustaka setia. Bandung.
Ø  Drs. Khaerul Umam, Dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Pustaka setia. Bandung.

makalah


Tugas semester
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum acara perdata
Desen Pengampu : Supriyadi,SH,MH.
Oleh :
Linda Alfi Lutfinda     :  210067





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN  SYARI’AH / AS
TAHUN  2011


Perceraian dan hak asuh anak
I.                   Pendahuluan
Pernikahan tidak selalu berjalan mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan. Layar kaca pun sering menayangkan perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ?
Ayah yang pada awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Bagaimana solusinya?

II.                Rumusan masalah
Ø  Hakikat Perceraian
Ø  Hak asuh anak:
a.    Hak Asuh Anak Menurut UU
b.    Hak asuh anak menurut syariat Islam
Ø  Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Ø  Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak
III.             Pembahasan

·         Hakikat Perceraian
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.
Sebenarnya perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).

·         Hak asuh anak:

a.    Hak Asuh Anak Menurut UU
Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan  ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
1.      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.
Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari  pemeliharaan dan pendidikan  dari anak tersebut.
Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.
Secara sosiologis dalam masyarakat seringkali dijumpai istilah “bekas suami” atau “bekas isteri”, namun tidak pernah sama sekali dijumpai adanya istilah “bekas bapak”, “bekas ibu” atau “bekas anak” karena hubungan darah dari orang tua dan anak tidak pernah dapat dipisahkan oleh apapun juga.
Meskipun demikian suatu perceraian selain mempunyai akibat secara hukum juga mempunyai akibat secara sosiologis dan psikologis bagi pribadi anak tersebut, untuk itu diperlukan pertimbangan yang matang dan bijaksana sebelum memutuskan untuk mengakhiri perkawinan.
b.    Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Demikian halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
Abu Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.”
Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.
Bagaimana nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak belum mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih Anak, 2004. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo).
Perceraian memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan. Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat I
slam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriah semata, melainkan juga kedekatan batiniah.
Hak asuh anak oleh ibunya dapat digantikan oleh kerabat terdekat jika ibunya telah meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam telah menentukan, bahwa jika ibu si anak meninggal, maka mereka yang dapat menggantikan kedudukan ibu terhadap hak asuh anaknya meliputi:
  1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
  2. Ayah.
  3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
  4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
  5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

·         Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.” Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),  terdapat istilah ”Kuasa Asuh”  yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”
Istilah Kuasa Asuh dan Anak Asuh ini menurut hemat kami setidak – tidaknya dapat memberikan gambaran mengenai pengertian dari Hak Asuh itu sendiri. Jadi dalam suatu perkara perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinannya dinyatakan putus karena perceraian, maka salah satu pihak dapat memohonkan agar Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut diberikan kepadanya.

·         Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak
Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut. Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
Dalam hal terjadi perceraian :
1.       pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2.      pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
3.       biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). 
Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
Misalnya dalam persidangan tersebut terungkap bahwa suami/istri tersebut sering berbuat kasar dan memiliki perilaku yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Selain itu akan diperhatikan juga dari segi finansial, apakah pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan dari anak tersebut nantinya.
Semua ini dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan demi kepentingan dan kemanfaatan dari si anak tersebut.  Tentunya mereka yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk diberikan Hak Asuh.  Permasalahan lain yang dapat timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara lain, keinginan dari pihak Bapak/Ibu yang tidak mendapat Hak Asuh untuk tetap dapat bertemu dengan anak – anaknya yang berada dalam pengasuhan Bapak/Ibu yang mendapatkan Hak Asuh atas anak-anak tersebut.
Sehingga sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemberian Hak Asuh kepada salah satu pihak, entah itu diberikan kepada pihak Bapak atau Ibu, sekali – kali tidak menghilangkan hubungan antara Bapak/Ibu yang tidak mempunyai Hak Asuh dengan anak tersebut. Hal tersebut dapat dimohonkan agar dituangkan dalam putusan atas perkara tersebut (sesuai dengan permohonan para pihak) agar pihak Bapak/Ibu sewaktu – waktu dapat bertemu dengan anak – anaknya dengan sepengetahuan dari Bapak/Ibu yang mempunyai Hak Asuh atas anak tersebut.
IV.             Kesimpulan
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).
anak bukanlah suatu barang melainkan pribadi yang mempunyai pikiran dan perasaan. Ada baiknya penyerahan atas anak tersebut dilakukan oleh suami dan isteri yang telah bercerai tersebut dengan cara mengkomunikasikannya terlebih dahulu secara baik – baik dan kekeluargaan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lain dikemudian hari, yang tentunya akan membawa efek negatif bagi perkembangan anak tersebut.

refrensi:
·         Drs.H.Mustofa,Sayuti,SH,MH. Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama.PT Tatanusa.Jakarta.2002.
·         Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Per-data, cet. Ke 23, 1990, Pradnya Paramita, Jakarta.
·