Senin, 27 Februari 2012

makalah


Tugas semester
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hukum acara perdata
Desen Pengampu : Supriyadi,SH,MH.
Oleh :
Linda Alfi Lutfinda     :  210067





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN  SYARI’AH / AS
TAHUN  2011


Perceraian dan hak asuh anak
I.                   Pendahuluan
Pernikahan tidak selalu berjalan mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan. Layar kaca pun sering menayangkan perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ?
Ayah yang pada awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Bagaimana solusinya?

II.                Rumusan masalah
Ø  Hakikat Perceraian
Ø  Hak asuh anak:
a.    Hak Asuh Anak Menurut UU
b.    Hak asuh anak menurut syariat Islam
Ø  Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Ø  Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak
III.             Pembahasan

·         Hakikat Perceraian
Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.
Sebenarnya perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).

·         Hak asuh anak:

a.    Hak Asuh Anak Menurut UU
Akibat Hukum Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan  ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
1.      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.
Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari  pemeliharaan dan pendidikan  dari anak tersebut.
Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian.
Secara sosiologis dalam masyarakat seringkali dijumpai istilah “bekas suami” atau “bekas isteri”, namun tidak pernah sama sekali dijumpai adanya istilah “bekas bapak”, “bekas ibu” atau “bekas anak” karena hubungan darah dari orang tua dan anak tidak pernah dapat dipisahkan oleh apapun juga.
Meskipun demikian suatu perceraian selain mempunyai akibat secara hukum juga mempunyai akibat secara sosiologis dan psikologis bagi pribadi anak tersebut, untuk itu diperlukan pertimbangan yang matang dan bijaksana sebelum memutuskan untuk mengakhiri perkawinan.
b.    Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Demikian halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
Abu Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.”
Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.
Bagaimana nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak belum mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih Anak, 2004. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo).
Perceraian memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan. Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat I
slam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriah semata, melainkan juga kedekatan batiniah.
Hak asuh anak oleh ibunya dapat digantikan oleh kerabat terdekat jika ibunya telah meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam telah menentukan, bahwa jika ibu si anak meninggal, maka mereka yang dapat menggantikan kedudukan ibu terhadap hak asuh anaknya meliputi:
  1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
  2. Ayah.
  3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
  4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
  5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

·         Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.” Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),  terdapat istilah ”Kuasa Asuh”  yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.”
Istilah Kuasa Asuh dan Anak Asuh ini menurut hemat kami setidak – tidaknya dapat memberikan gambaran mengenai pengertian dari Hak Asuh itu sendiri. Jadi dalam suatu perkara perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinannya dinyatakan putus karena perceraian, maka salah satu pihak dapat memohonkan agar Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut diberikan kepadanya.

·         Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak
Sesuai dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh atas anak tersebut. Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
Dalam hal terjadi perceraian :
1.       pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2.      pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
3.       biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). 
Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti – bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
Misalnya dalam persidangan tersebut terungkap bahwa suami/istri tersebut sering berbuat kasar dan memiliki perilaku yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Selain itu akan diperhatikan juga dari segi finansial, apakah pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan dari anak tersebut nantinya.
Semua ini dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan demi kepentingan dan kemanfaatan dari si anak tersebut.  Tentunya mereka yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk diberikan Hak Asuh.  Permasalahan lain yang dapat timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara lain, keinginan dari pihak Bapak/Ibu yang tidak mendapat Hak Asuh untuk tetap dapat bertemu dengan anak – anaknya yang berada dalam pengasuhan Bapak/Ibu yang mendapatkan Hak Asuh atas anak-anak tersebut.
Sehingga sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemberian Hak Asuh kepada salah satu pihak, entah itu diberikan kepada pihak Bapak atau Ibu, sekali – kali tidak menghilangkan hubungan antara Bapak/Ibu yang tidak mempunyai Hak Asuh dengan anak tersebut. Hal tersebut dapat dimohonkan agar dituangkan dalam putusan atas perkara tersebut (sesuai dengan permohonan para pihak) agar pihak Bapak/Ibu sewaktu – waktu dapat bertemu dengan anak – anaknya dengan sepengetahuan dari Bapak/Ibu yang mempunyai Hak Asuh atas anak tersebut.
IV.             Kesimpulan
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).
anak bukanlah suatu barang melainkan pribadi yang mempunyai pikiran dan perasaan. Ada baiknya penyerahan atas anak tersebut dilakukan oleh suami dan isteri yang telah bercerai tersebut dengan cara mengkomunikasikannya terlebih dahulu secara baik – baik dan kekeluargaan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lain dikemudian hari, yang tentunya akan membawa efek negatif bagi perkembangan anak tersebut.

refrensi:
·         Drs.H.Mustofa,Sayuti,SH,MH. Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama.PT Tatanusa.Jakarta.2002.
·         Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Per-data, cet. Ke 23, 1990, Pradnya Paramita, Jakarta.
·          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar