Senin, 27 Februari 2012

inspirasi Linda


Anak-anak pedalam yang terbelakang namun berpotensi
Berkunjung di pedalaman Kalimantan bagi sebagian orang menjadi momok yang menakutkan. Mitos-mitos tentang mengayau “memenggal kepala”, ganasnya penyakit malaria, dan lebatnya hutan menjadi katalisator sebagian orang untuk menghindari Kalimantan sebagai tempat kerja. Namun bagi beberapa guru dan dokter yang menjadi relawan, berkunjung di Kalimantan adalah sesuatu yang menyenangkan, ramahnya masyarakat suku dayak, dinamika dan budaya masyarakat yang unik, hutan rimba dengan aneka flora dan fauna, menjadi kenikmatan tersendiri untuk dinikmati.
Kondisi sekolah di pedalaman kalimantan hampir sebagian besar sangat jauh dari layak sebagai tempat belajar mengajar secara formal. Media pengajaran seperti buku adalah barang langka, apalagi listrik dan pendingin udara (AC). Hal ini diperparah juga dengan kondisi jalan yang rusak, jangankan motor, untuk jalan kaki saja masih terpeleset.
Di Kalimantan Barat ditemukan fakta bahwa perjalanan yang harus ditemput anak menuju sekolah adalah 4 km, jadi pulang pergi total jarak adalah 8 km melewati hutan.Secara fisik anak-anak di pedalaman jauh lebih kuat daripada anak di kota-kota seperti Jakarta, Surabaya atau Yogyakarta. Di kota tersedia fasilitas bus, mobil angkot, atau becak, sementara di pedalaman anak-anak harus berjalan kaki melintasi hutan yang terkadang terjebak dalam hujan lebat.
Anak-anak pedalaman mempunyai daya tahan untuk hidup (survival). Selain anak-anak yang berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolah setiap hari, ada anak-anak dari daerah hulu (pedalaman) yang hidup di pondok-pondok di sekitar sekolah, dan pulang ke rumah setiap 1 minggu sekali. Anak-anak yang mondok ini biasa membawa perbekalan untuk hidup selama seminggu seperti beras, ikan asin, dan mencari sayur di hutan-hutan sekitar gubuk atau tempat tinggal. Coba seandainya hal itu dilakukan oleh anak-anak di kota, tanpa uang saku anak-anak kota sudah merengek-rengek menangis dan mogok sekolah, bahkan kadang sampai mengancam orang tua jika tidak diberi uang saku, atau tidak dibelikan handphone, bahkan sepeda motor. Anak-anak di pedalaman lebih kreatif dan solutif jika menemukan masalah, bukan mengancam atau menintimidasi orang tua.
Soal kecerdasan anak-anak di pedalaman tidak kalah hebat, namun beberapa guru kadang tidak menggunakan metode yang tepat untuk mentransfer ilmunya.Anak-anak ini cerdas namun kadang kita tidak memahami bahasa atau metode yang tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi-potensi mereka.
Ini hampir mirip pada kisahku waktu kelas 3 SMP aku juga harus berjalan kaki yang lumayan jauh, dengan uang saku pas-pasan. Terkadang aku merasa bahwa aku adalah seorang yang mendapat nasib kurang baik dibandingkan teman-teman yang lain. Linda yang dari kelas 1SMP selalu berangkat sekolah naik motor, tiba-tiba diakhir semester kelas 3 selalu jalan kaki. Kala itu ayahku bangkrut, jadi terpaksa 2motor yang kami punya harus dijual. Tak hanya itu, saat pendaftaran SMA, toko ayah selalu sepi. Aku sempat berfikir mungkin aku tak bisa melanjutkan sekolah seperti yang lain. Masa SMA pun tak jauh berbeda. Kelas 1SMA aku selalu jalan kaki dari rumah sampai desa sebelah, lalu naik angkot, kemudian jalan kaki lagi samapai sekolah. Akhir semester 2 saat kelas 1SMA aku bisa sedikit bernafas lega, akhirnya kehidupan keluargaku sedikit lebih membaik. Ayahku bisa beli motor lagi dan bahkan mampu membeli mobil. Namun tak bertahan lama. Awal semester 2 di kelas 3SMA, ayah kembali bangkrut dan mobilnya terjual untuk menutup hutang-hutang ayah yang tak tau buat apa karena hutangnya mencapai ratusan juta. Linda yang kehidupan sebenarnya sangat kurang beruntung ini aku berusaha bersabar, berusaha menjadi Linda yang kuat dan tidak cengeng. Meski banyak yang mengagumiku dan banyak yang mengira kehidupanku sangat makmur. Sebenarnya bukan makmur, tapi Sule, karena setiap kesusahn aku selalu berkata “prikittiwww,....”  untuk menghibur diriku. Heheheheheh,...... Beberapa hari sebelum ujian, motorku pun ikut terjual. Tak cuma itu, saat mau memasuki perguruan tinggi, ayah menyuruhku untuk berhenti satu tahun dulu. Dan saat itu timbullah tragedi baru dalam kehidupan keluargaku. Kemudian aku memutuskan ke kudus, aku menginap di kost saudaraku yang saat itu sedang PKL di Ramayana. Dalam benakku, aku yakin aku pasti bisa kulyah. Dan akhirnya aku mendaftar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Kudus, dengan menjual 2gelang harta yang paling berharga yang bisa ku jual. Sampai saat ini (semester 3) kehidupanku juga masih pasang surut.

Jepara,25 november 2011

In ruang tv
(pukul 18.39 wib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar