Sabtu, 09 Maret 2013

Pengacara Pro Bono?? Tau kah anda??

Belakangan ini, pengacara menjadi profesi yang
semakin populer di tanah air. Salah satu alasannya,
karena penampilan sejumlah pengacara yang begitu
sering muncul di media, membela kasus-kasus
korupsi kelas kakap. Keberadaan para pengacara ini
ternyata membuat banyaknya mahasiswa yang memandang profesi pengacara sebagai jalan untuk
mendulang kekayaan, bukan untuk menegakkan
keadilan. Banyak juga yang menganggap, mereka
yang didampingi kuasa hukum pasti mengantongi
banyak uang. Padahal, dinegeri ini masih ada
pengacara-pengacara pro bono yang bekerja keras menegakkan keadilan tanpa memungut biaya.
Siapa yang tidak mengenal nama-nama pengacara
papan atas negeri ini, seperti Warsito Sanyoto,
Hotman Paris, Minola Sebayang dan OC Kaligis?
Mereka adalah pengacara-pengacara yang sering
tampak dan tampil di media dalam membela kasus- kasus korupsi kelas kakap, perceraian artis dan
sebagainya. Mereka sering diiringi wanita-wanita
cantik, bahkan mengendarai kendaraan mewah serta
berpakaian yang serba wah, dengan gelang dari
emas dan cincin yang besar-besar.
Tempat pengacara seperti Warsito Sanyoto, Hotman Paris, Minola Sebayang, dan OC Kaligis bukan
disudut kompleks Pengadilan Negeri. Di sudut
kompleks Pengadilan Negeri adalah ruangan
pengacara-pengacara pro bono, yang sepanjang hari
menyediakan waktu dan tenaga untuk membantu
terdakwa tak mampu tanpa memungut biaya. Seorang pengacara pro bono menuturkan bahwa dia
terjun menjalani profesi ini sejak pensiun sebagai
pengajar di sebuah fakultas hukum univeristas
swasta ternama di daerah jakarta Timur. Begitu terjun
menjadi pengacara pro bono, selama seminggu
beliau mengalami sakit kepala dan pusing. Karena apa yang beliau ajarkan dahulu diruang kuliah, sangat
berbeda jauh dengan praktik yang ada. Semua
menyimpang. Hingga beliau merasa malu sebagai
seorang pengajar.
Keberadaan pengacara pro bono seperti diatas, kerap
dipandang sebelah mata. Stigma ini muncul karena sebahagian pengacara pro bono adalah lulusan baru
yang mencari pengalaman. Mereka masih memiliki
semangat dan idealisme yang tinggi karena baru
keluar dari perguruan tinggi, walaupun tujuan akhirnya
tetap menjadi pengacara profit. Pengacara-pengacara
pro bono memang tak banyak tampil dilayar kaca, tak seperti beberapa pengacara papan atas yang
sering tampil di media dan mengubah citra profesi
pengacara di Indonesia.
Namun saat ini banyak mahasiswa yang sedang
kuliah di fakultas atau jurusan hukum dan mau
menjadi advokat, telah tergoda dan terpengaruh karena melihat beberapa advokat tersebut. Mereka
melihat profesi sebagai pengacara artis, kasus-kasus
korupsi bisa cepat mendatangkan kekayaan yang
berlimpah. Hal ini terbukti dengan melihat
kecenderungan dari mahasiswa hukum untuk menjadi
pengacara-pengacara kelas berat dan terkenal namanya. Bahkan banyak mahasiswa hukum yang
tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan
pengacara pro bono. (Silahkan diuji dan ditanyakan
pada teman-teman anda yang menjadi mahasiswa
hukum)
Bahkan saat magangpun mahasiswa hukum lebih memilih di law-firm dibandingkan dengan lembaga
bantuan hukum. Mereka lebih memilih magang
dikantor pengacara-pengacara besar, sedangkan
yang memilih magang di lembaga bantuan hukum
bisa dihitung dengan jari. Seperti diketahui, tarif atau honorarium pengacara
sebenarnya telah diatur dalam undang-undang,
meskipun dalam pasal tersebut hanya menyebutkan
harga jasa hukum advokat harus ditetapkan secara
wajar tanpa membakukan besarannya. Di Indonesia
sendiri dikenal berbagai macam sistem pembayaran. Ada yang lumpsum atau honorarium, maksudnya
perkara ditangani dengan membayar sejumlah rupiah.
Ada juga sistem hourly basis, dimana advokat
dibayar perjam sesuai kesepakatan, rata-rata $
200-300 per jam dengan waktu minimal adalah 2 jam. Sebagai ilustrasi atau contoh adalah kasus
perceraian seorang public figure. Dia perlu
membayar pengacara papan atas itu minimal 50 juta
rupiah, diluar biaya operasional yang berkisar 10
persen dari bayaran yang disepakati. Bahkan
sebelum kasus itu diterima, ada konsultasi dulu yang dilakukan dengan biaya $200 per jam dan minimal
waktu konsultasi adalah 2 jam.
Itu adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk
pengacara profit. Sedangkan untuk pengacara pro
bono hanya dibayar 600 ribu rupiah oleh negara per
perkara. Biaya itu adalah dari awal persidangan hingga vonis hakim dijatuhkan. Mereka tidak
menerapkan atau membebankan biaya tambahan,
karena klien yang dibela adalah orang-orang susah,
yang untuk makanpun sulit sekali. Mereka tidak
pernah memikirkan bagaimana memenangkan klien
didalam peradilan, namun bagaimana dengan pembelaan itu klien merasa ada yang mendampingi
dan memperhatikan nasibnya didalam peradilan.
Kasus yang ditangani oleh pengacara-pengacara pro
bono lebih banyak yang kalah dibandingkan
pengacara-pengacara bertarif. Karena yang mereka
hadapi di peradilan adalah sesuatu yang besar. Sangat susah yang kecil mengalahkan tembok yang
besar itu.
Semahal apapun tarifnya, Undang-Undang
mewajibkan semua pengacara untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma. Tanpa
terkecuali! Karena segelintir advokat yang bertindak seperti itu,
akhirnya seluruh advokat tercela. Jangan menjadi
advokat karena melihat orang-orang itu, yang
memamerkan mobil-mobil mewah dan segala
hartanya, karena anda akan tersesat. Karena tidak
semua advokat bergaya seperti itu, tidak semua advokat memiliki kekayaan berlimpah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar