MAHKUM
ALAIH
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ushul Fiqih
Desen
Pengampu :
Oleh
:
Linda
Alfi Lutfinda : 210067
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / AS
TAHUN 2011
Mahkum Alaih
I.
Pendahuluan
Hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan
perbuatan orang-orang mukalaf, baik berupa perintah, larangan, memilih atau
ketetapan. Dari definisi ini perlu di ungkap tentang pembentuk hukum syara’ (al
Hakim) serta perbuatan orang-orang mukalla sebagaimana telah di uraikan. Kini
tinggal masalah “mukallaf” yang melakukan perbuatan yang belum dibicarakan dan merekalah yang
disebut al- mahkum ‘alaih atau orang yang menjadi objek hukum,
dalam istilah hukum disebut subjek hukum. Jadi mahkum ‘alaih adalah orang
mukallaf, karena dialah orang yang
perbuatanya dihukumi atau diterima atau ditolak dan termasuk atau tidak
dalam cakupan perintah atau larangan.
II.
Rumusan Masalah
a.
Pengertian mahkum ‘alaih
b.
Syarat-Syarat Orang mukallaf
c.
Dasar taklif
d.
Kemampuan taklif
e.
Penghalang Ahliyah
III.
Pembahasan
A.
Pengertian Mahkum ‘alaih
Para ulama’ Usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mahkum ‘alai adalah seseorang yang perbuatanya dikenai hukum, yang
disebutkan dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dikenai hukum.
Dalam usul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih atau subjek hukum.
Orang mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah atau
berupa larangan-nya. Seluruh tindakan hukum mukallaf harus dipertanggung jawabkan . Apabila ia mengerjakan perintah
Allah, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko
dosa dan kewajibannya belim terpenuhi.
B.
Syarat-syarat Orang Mukallaf
Untuk
sahnya pentaklifan menurut syara’di
syaratkan dua syarat pada mukallaf, yaitu :
1.
Mukallaf yang dituntut melakukan hukum syara’
mampu memahami dalil taklif, baik dalil yang bersumber dari al Qur’an maupun
sunnah. Orang yang belum mampu memahami dalil taklif tentunya tidak mungkin
dapat melaksanakannya apa yang dibebankan kepadanya dan tidak dapat
melaksanakan taklif sesuai yang dimaksud syara’, orang yang tidak mengerti bahasa arab hendaklah
belajar bahasa arab karena dengan di bebankan kepadanya atau melalui buku agama
dalam bahasa yang mereka pahami.
Dalam khobah pada hujjatul wada’ Rasulullah bersabda :
Artinya :
“Hendaklah
menyampaikan orang yang hadir kepada orang yang tidak hadir”. (HR. Muslim dari Abu Bakrah)
2.
Kemampuan memahami dalil. Hal ini tentunya erat
hubungannya dengan perkembangan akal, karena akal merupakan alat untuk memahami
dalil taklif dan orang yang sempurna daya
tanggapnya adalah orang yang sudah
mencapai baligh dan tidak menderita penyakit yang menyebabkan daya tangkapnya
hilang atau trganggu. Karena itu anak kecil, orang gila, tidak dinamakan
mukallaf karena akalnya belum atau tidak sempurna demikian juga orang yang
lupa, orang yang tidur atau orang yang
mabuk karena akalnya tidak sempurna. Rasulullah bersabda :
Artinya :
“ Diangkat kewajiban dari tiga
orang : orang tidur sampai bangun dari
anak kecil sampai ia bermimpi dan dari orang gila sampai ia sembuh”.
C.
Dasar Taklif
Adapun dasar taklif
(pembebanan) adalah akal dan pemahaman. Akal yang mampu memahami itulah
yang menjadi landasan taklif.
Para
ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah berakal dan faham, karena taklif
(pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil membebani sesuatu yang tidak
berakal dan tidak faham seperti hewan, anak kecilataupun orang gila. Demikian
yang seperti itu tidak mampu memehami taklif. Karena tujuan taklif tidak saja
tergantung pada pemahaman dasar tuntutan, tetapi juga kepada pemahaman yang
rinci atas tuntutan itu. Meskipun seorang anak sudah mendekati baligh namun
karena akal dan , pemahaman itu merupakan sesuatu yang abstrak dan berkembang
secara bertahap dan tidak ada tanda-tanda yang
jelas, maka Allah menetapkan suatu batas yaitu umur baligh.
Sabda Nabi Muhammad SAW : “digugurkan beban taklif itu atas tiga hal,
anak sampai baligh, orang tidur sampai bangun, dan orang gila sampai sembuh”. (
al-ihkam fi ushul al-ahkam, oleh al-Amidy, juz 1, hal 115, 216 ).
D.
Kemampuan Taklif
Kemampuan
(ahliyah) adalah kemampuan seorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak.
Artinya orang itu pantas untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang lain, dan pantas
untuk melaksanakannya. Dengan demikian, kemampuan itu mengandung dua
segi :
1.
Ahliyatul wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai
dan menanggung hak. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar
keberadaannya karena ia seorang manusia.
2.
Ahliyatul ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan
kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Keberadaan kemampuan ini tidak
hanya karena ia sebagai manusia, tetapi karena ia cakap (tamyiz).
Kemampuan ini
terwujud berdasar keberadaan seorang semata-mata sebagai manusia, baik sudah
dewasa atau masih kanak-kanak, pandai atau tidak pandai, laki laki atau
prempuan. Juga baik ia seorang merdeka atau budak. Meskipun hak orang merdeka
lebih sempurna. Kemampuan ini tetap akan melekat kepada setiap orang sampai mati.
Selanjutnya
keberadaan Ahliyatul wujub itu bertahap sesuai dengan proses tahapan manusia.
Nama-nama seseorang ada sebagai janin ( dalam kandungan) , kemudian bayi yang
belum cakap, kemudian anak-anak yang cakap, kemudian sebagai orang dewasa yang
cakap atau tidak cakap. Sewaktu masih janin, ahliyatul wujub belumlah sempurna
dan baru menjadi sempurna setelah seorang lahir sebagai manusia.
ü
Kemampuan Kandungan (ahliyah janin)
Ahliyatul wujub pada janin masih bersifat kurang (naqish), karena ia hanya mempunyai hak dan
tidak dikenai kewajiban. Bahkan hak-hak janin pun masih tentatif, bisa hilang
karena adanya dua faktor :
1.
Janin itu mempunyai kemungkinan hidup terus, dan
kemungkinan lahir mati.
2.
Janin yang ada dalam kandungan ibunya sudah diperhitungkan keberadaanya,
meskipun secara fisik sebagai bagian dari ibunya. Karena secara fisik ia selalu
mengikuti ibunya, maka syara’ menetapkan secara hukum yang terkena pada ibunya.
Berdasarkan kedua hal itulah sebagai bagian dari ibu dan kemungkinan berdiri
sendiri . secara syara’ ia di beri hak namun tidak dikenai kewajiban.
ü
Kemampuan Anak Yang Lahir
Begitu lahir, seorang
akan memperoleh hak-haknya sebagai manusia secara sempurna, baik ia
cakap atau tidak cakap. Hak-hak itu antara lain :
1.
Dia dapat menanggung beban penggunaan harta yang
dilakukan oleh wali, baik secara syara’ maupun undang-undang, tetapi
ditanngungkan sampai ia dipandang cakap.
2.
Dalam hartanya terkena kewajiban-kewajiban,
seperti pajak dan ushur.
3.
Dalam hartanya terkena kewajiban nafkah
keluarga.
4.
Hartanya menjadi penebus biaya hidupnya yang
diurus ileh orang lain, karena termasuk dalam tanggunganya adalah kewajiban
yang bersifat harta meski tidak untuk ibadah.
ü
Ahliyatul Ada’
Ahliyatul ada’ ialah kemampuan bekerja, yaitu apabila
seseorang telah pantas untuk menerima haknya sendiribdan melahirkan hak atas
orang lain karena perbuatannya. Masa datangnya Ahliyatul Ada’ itu menurut
syara’ berlaku bersama dengan tibanya usia taklif yang dibatasi dengan aqil
(berakal) dan baligh (dewasa).
Bila akal sempurna
maka ahliyatul ada’ sempurna dan bila kurang sempurna maka ahliyatul ada’
berkurang pula, dan bila akal tidak ada maka hlang pula ahliyatul ada’.
Konsekuensi dari hal ini ada dua :
1.
Ahliyatul ada’ , terbagi menjadi 2 :
a.
Ahliyatul ada’ sempuran (tam), yaitu ketika seseorang
yang berakal telah mencapai umur dewasa (baligh), dinisbahkan untuk
hukum syara’, dan balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk mu’amalah harta
(perdata).
b.
Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish), yaitu
anak yang cakap dan semisalnya dinisbahkan untuk mu’amalah harta dan perikatan.
2.
Setelah seorang manusia lahir, dinisbahkan
kepada ahliyatul ada’ ini, akan
mengalami tiga fase :
a.
Fase pertama, dari lahir sampai mempunyai
kecakapan (tamyiz). Artinya saat itu ia adalah anak yang tidak cakap belum
berakal sehingga perbuatannya belum
dianggap sebagai tindakan hukum.
b.
Fase kedua, masa setelah cakap (tamyiz) sampai
dewasa (baligh) yang dimulai dari sekitar umur tujuh tahun. Pada saat fase ini
dia sudah memiliki akal yang telah berfungsi
untuk mengetahui sesuatu tetapi masih kurang
(naqish) sehingga Ahliyatul ada’ baginya belum sempurna.
c.
Fase ketiga, fase mencapai usia dewasa dengan
keadaan berakal. Pada masa ini seseorang dikenai seluruh taklif (beban) keagamaan. Seperti shalat, puasa,
zakat an lainya. Segala perbuatannya akan dikenai hukum, seperti membunuh,
berzina, mencur dan lainnya. Dia akan dikenakan hukuman dan siksaan
menurut syara’ apabila melanggar atau
mengerjakan hal-hal yang akan mendatangkan hukuman dan siksaan itu.
E.
Penghalang
Ahliyyah
Telah di kemukakan bahwa ahliyyah wujub tetap pada manusia. Dan manusia
semenjak usia baligh memperoleh ketetapan ahliyyah ada’ yang sempurna, hanya
saja ahliyyah ini terkadang
terhalang oleh beberapa
penghalang, diantaranya adalah :
1.
Penghalang samawi, yang tidak ada usaha manusia dan ikhtiyarnya padanya, seperti gila, agak kurang waras akalnya dan
lupa.
2.
Penghalang khasbi, yaitu yang terjadi karena
usaha dan ikhtiyar manusia , seperti mabuk, bodoh, hutang.
IV.
Kesimpulan
Ø
Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya
dikenai hukum. Yang disebutkan dengan mukallaf.
Ø
Mahkum alaih di sebut juga dengan subjek hukum.
Ø
Mukallaf adalah orang yang
dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah
Allah maupun larangannya.
Ø
Syarat orang mukallaf ada 2 :
1.
Mukallaf yang dituntut melaksanakan hukum syara’
mampu memahami dalil taklif.
2.
Kemampuan memahhami dalil.
Ø
Dasar
taklif adalah akal dan pemahaman. Akal yang manpu memahami itulah yang
menjadi landasan taklif.
Ø
Kemampuan taklif ada 2 :
1.
Ahliyatu l wujub, yaitu kemampuan untuk
mempunyai dan menanggung hak.
2.
Ahliyatul
ada’, yaitu kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak
untuk orang lain.
Ø
Penghalang ahliyyah :
1.
Penghalang
samawi, yang tidak ada usaha manusia dan ikhtiyarnya padanya, seperti
gila dan lupa.
2.
Penghalag
khasbi, yaitu terjadi karena usaha manusia dan ikhtiyar manusia, seperti
bodoh, mabuk, hutang.
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan untuk memenuhi tugas “Ushul
Fiqh”. Semoga apa yang kami tulis
dapat bermanfaat dan menambah ilmu kita
semua. Kurang lebihnya isi makalah ini, kami mohon maaf.
VI.
Refrensi
Ø
Prof.
Abdul Wahab Khalaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama. Semarang.
Ø
Drs. H.
Syafi’i Karim. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. CvV. Pustaka setia.
Bandung.
Ø
Drs. Khaerul Umam, Dkk. 2000. Ushul Fiqih I.
Pustaka setia. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar