Anak-anak
pedalam yang terbelakang namun berpotensi
Berkunjung
di pedalaman Kalimantan bagi sebagian orang menjadi momok yang menakutkan.
Mitos-mitos tentang mengayau “memenggal kepala”, ganasnya penyakit malaria, dan
lebatnya hutan menjadi katalisator sebagian orang untuk menghindari Kalimantan
sebagai tempat kerja. Namun bagi beberapa guru dan dokter yang menjadi relawan,
berkunjung di Kalimantan adalah sesuatu yang menyenangkan, ramahnya masyarakat
suku dayak, dinamika dan budaya masyarakat yang unik, hutan rimba dengan aneka
flora dan fauna, menjadi kenikmatan tersendiri untuk dinikmati.
Kondisi
sekolah di pedalaman kalimantan hampir sebagian besar sangat jauh dari layak
sebagai tempat belajar mengajar secara formal. Media pengajaran seperti buku
adalah barang langka, apalagi listrik dan pendingin udara (AC). Hal ini
diperparah juga dengan kondisi jalan yang rusak, jangankan motor, untuk jalan
kaki saja masih terpeleset.
Di
Kalimantan Barat ditemukan fakta bahwa perjalanan yang harus ditemput anak menuju
sekolah adalah 4 km, jadi pulang pergi total jarak adalah 8 km melewati
hutan.Secara fisik anak-anak di pedalaman jauh lebih kuat daripada anak di
kota-kota seperti Jakarta, Surabaya atau Yogyakarta. Di kota tersedia fasilitas
bus, mobil angkot, atau becak, sementara di pedalaman anak-anak harus berjalan
kaki melintasi hutan yang terkadang terjebak dalam hujan lebat.
Anak-anak
pedalaman mempunyai daya tahan untuk hidup (survival). Selain anak-anak yang
berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolah setiap hari, ada anak-anak
dari daerah hulu (pedalaman) yang hidup di pondok-pondok di sekitar sekolah,
dan pulang ke rumah setiap 1 minggu sekali. Anak-anak yang mondok ini biasa
membawa perbekalan untuk hidup selama seminggu seperti beras, ikan asin, dan mencari
sayur di hutan-hutan sekitar gubuk atau tempat tinggal. Coba seandainya hal itu
dilakukan oleh anak-anak di kota, tanpa uang saku anak-anak kota sudah
merengek-rengek menangis dan mogok sekolah, bahkan kadang sampai mengancam
orang tua jika tidak diberi uang saku, atau tidak dibelikan handphone, bahkan
sepeda motor. Anak-anak di pedalaman lebih kreatif dan solutif jika menemukan
masalah, bukan mengancam atau menintimidasi orang tua.
Soal
kecerdasan anak-anak di pedalaman tidak kalah hebat, namun beberapa guru kadang
tidak menggunakan metode yang tepat untuk mentransfer ilmunya.Anak-anak ini
cerdas namun kadang kita tidak memahami bahasa atau metode yang tepat untuk
meningkatkan dan mengembangkan potensi-potensi mereka.
Ini hampir
mirip pada kisahku waktu kelas 3 SMP aku juga harus berjalan kaki yang lumayan
jauh, dengan uang saku pas-pasan. Terkadang aku merasa bahwa aku adalah seorang
yang mendapat nasib kurang baik dibandingkan teman-teman yang lain. Linda yang
dari kelas 1SMP selalu berangkat sekolah naik motor, tiba-tiba diakhir semester
kelas 3 selalu jalan kaki. Kala itu ayahku bangkrut, jadi terpaksa 2motor yang
kami punya harus dijual. Tak hanya itu, saat pendaftaran SMA, toko ayah selalu
sepi. Aku sempat berfikir mungkin aku tak bisa melanjutkan sekolah seperti yang
lain. Masa SMA pun tak jauh berbeda. Kelas 1SMA aku selalu jalan kaki dari
rumah sampai desa sebelah, lalu naik angkot, kemudian jalan kaki lagi samapai
sekolah. Akhir semester 2 saat kelas 1SMA aku bisa sedikit bernafas lega, akhirnya
kehidupan keluargaku sedikit lebih membaik. Ayahku bisa beli motor lagi dan
bahkan mampu membeli mobil. Namun tak bertahan lama. Awal semester 2 di kelas
3SMA, ayah kembali bangkrut dan mobilnya terjual untuk menutup hutang-hutang
ayah yang tak tau buat apa karena hutangnya mencapai ratusan juta. Linda yang
kehidupan sebenarnya sangat kurang beruntung ini aku berusaha bersabar, berusaha
menjadi Linda yang kuat dan tidak cengeng. Meski banyak yang mengagumiku dan
banyak yang mengira kehidupanku sangat makmur. Sebenarnya bukan makmur, tapi
Sule, karena setiap kesusahn aku selalu berkata “prikittiwww,....” untuk menghibur diriku. Heheheheheh,...... Beberapa
hari sebelum ujian, motorku pun ikut terjual. Tak cuma itu, saat mau memasuki
perguruan tinggi, ayah menyuruhku untuk berhenti satu tahun dulu. Dan saat itu
timbullah tragedi baru dalam kehidupan keluargaku. Kemudian aku memutuskan ke
kudus, aku menginap di kost saudaraku yang saat itu sedang PKL di Ramayana.
Dalam benakku, aku yakin aku pasti bisa kulyah. Dan akhirnya aku mendaftar di
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Kudus, dengan menjual 2gelang
harta yang paling berharga yang bisa ku jual. Sampai saat ini (semester 3)
kehidupanku juga masih pasang surut.
Jepara,25 november 2011
In ruang tv
(pukul 18.39 wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar