HAK
ASUH ANAK SETELAH PERCERAIAN
Tugas semester
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : fiqih
munahakat
Desen
Pengampu :
Oleh :
Linda Alfi Lutfinda : 210067
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH
/ AS
TAHUN 2011
HAK ASUH ANAK SETELAH PERCERAIAN
Perkawinan adalah
upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya
tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada
seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun
apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan
ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu
perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde), maka akan ada akibat – akibat hukum yang mengikutinya,
salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak – anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai
solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya,
perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian
justru menambah berkobarnya api perseteruan. Layar kaca pun sering menayangkan
perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh para publik
figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah satu
pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri
bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ?
Ayah
yang pada awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh
anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil,
melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh atas
hak asuh anak. Bagaimana solusinya?
·
Hakikat Perceraian
Perceraian
adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya
diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban
sebagai suami dan istri.
Sebenarnya
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika
bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya
perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti
perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).
·
Hak Asuh Anak Menurut
Syariat Islam
Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr :
Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini,
perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi
minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak
menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang
lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Demikian
halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil
Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah
ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
Abu
Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi
Ashim dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan
pilihan untuk dirinya sendiri.”
Ayah
dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai,
anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap
berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris
karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus
dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.
Bagaimana
nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya
maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga
kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun
setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir
yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika
anak belum mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban
mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena :
kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia
mengasuh dan mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu
(nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang
tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu
mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang
mumpuni untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga
garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam
mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu
mendidik, terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih
Anak, 2004. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo).
Perceraian
memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan
rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan.
Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut
tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal
ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat Islam.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada prinsipnya jika terjadi
perceraian maka hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu
pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan
hanya kedekatan lahiriah semata, melainkan juga kedekatan batiniah.
Hak asuh
anak oleh ibunya dapat digantikan oleh kerabat terdekat jika ibunya telah
meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam telah menentukan, bahwa jika ibu si anak
meninggal, maka mereka yang dapat menggantikan kedudukan ibu terhadap hak asuh
anaknya meliputi:
- Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
- Ayah.
- Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
- Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
- Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
· Hak asuh anak menurut UU
Akibat Hukum
Dari Putusnya Perkawinan Karena Perceraian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:
1.
Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusannya.
2.
Bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban
tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.
Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka
jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah
mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai)
dan anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus.
Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap
mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak
– anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan
dan pendidikan dari anak tersebut.
Ketentuan di
atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah
memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak – anak yang perkawinan
orang tuanya putus karena perceraian.
Secara sosiologis dalam masyarakat seringkali dijumpai istilah “bekas
suami” atau “bekas isteri”, namun tidak pernah sama sekali dijumpai adanya
istilah “bekas bapak”, “bekas ibu” atau “bekas anak” karena hubungan darah dari
orang tua dan anak tidak pernah dapat dipisahkan oleh apapun juga.
Meskipun demikian suatu perceraian selain mempunyai akibat secara hukum
juga mempunyai akibat secara sosiologis dan psikologis bagi pribadi anak
tersebut, untuk itu diperlukan pertimbangan yang matang dan bijaksana sebelum
memutuskan untuk mengakhiri perkawinan.
·
Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
Perlu
dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir
menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
memberi keputusannya.” Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu
gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena
perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh
atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak
Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), terdapat
istilah ”Kuasa Asuh” yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula
istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga,
untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar.”
Istilah
Kuasa Asuh dan Anak Asuh ini menurut hemat kami setidak – tidaknya dapat
memberikan gambaran mengenai pengertian dari Hak Asuh itu sendiri. Jadi dalam
suatu perkara perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinannya dinyatakan
putus karena perceraian, maka salah satu pihak dapat memohonkan agar Hak Asuh
atas anak – anak yang lahir dari perkawinan tersebut diberikan kepadanya.
·
Seluk Beluk Pemberian
Hak Asuh Anak
Sesuai
dengan apa yang kami sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan,
siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh Hak Asuh
atas anak tersebut. Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan
pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat
dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
Dalam hal terjadi perceraian :
Dalam hal terjadi perceraian :
1.
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2.
pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
3. biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.
Ketentuan
KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan
mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus
di Pengadilan Agama).
Sedangkan untuk orang – orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya
diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang
secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang
menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan
antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti –
bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan
hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut
dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut
baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
Misalnya
dalam persidangan tersebut terungkap bahwa suami/istri tersebut sering berbuat
kasar dan memiliki perilaku yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya.
Selain itu akan diperhatikan juga dari segi finansial, apakah pihak yang
memohonkan Hak Asuh Anak tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
baik sandang, pangan dan papan dari anak tersebut nantinya.
Semua ini
dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan demi kepentingan dan
kemanfaatan dari si anak tersebut. Tentunya mereka yang tidak dapat
memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk diberikan
Hak Asuh. Permasalahan lain yang dapat
timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara lain, keinginan dari pihak
Bapak/Ibu yang tidak mendapat Hak Asuh untuk tetap dapat bertemu dengan anak –
anaknya yang berada dalam pengasuhan Bapak/Ibu yang mendapatkan Hak Asuh atas
anak-anak tersebut.
Sehingga sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemberian Hak Asuh kepada salah
satu pihak, entah itu diberikan kepada pihak Bapak atau Ibu, sekali – kali
tidak menghilangkan hubungan antara Bapak/Ibu yang tidak mempunyai Hak Asuh
dengan anak tersebut. Hal tersebut dapat dimohonkan agar dituangkan dalam
putusan atas perkara tersebut (sesuai dengan permohonan para pihak) agar pihak
Bapak/Ibu sewaktu – waktu dapat bertemu dengan anak – anaknya dengan
sepengetahuan dari Bapak/Ibu yang mempunyai Hak Asuh atas anak tersebut.
·
Anak, Bukan Objek Yang Dapat Dieksekusi
Selain itu
dalam praktik juga terdapat permasalahan lain, apabila salah satu pihak sudah
dinyatakan sebagai pemegang Hak Asuh, namun anak – anaknya berada dalam
penguasaan pihak lain. Dengan mengantongi putusan tersebut, apakah untuk
mendapatkan anak tersebut perlu ”dieksekusi” sebagaimana dalam perkara perdata
lainnya? Sebaiknya tidak, karena anak bukanlah suatu barang melainkan pribadi
yang mempunyai pikiran dan perasaan. Ada baiknya penyerahan atas anak tersebut
dilakukan oleh suami dan isteri yang telah bercerai tersebut dengan cara
mengkomunikasikannya terlebih dahulu secara baik – baik dan kekeluargaan,
sehingga tidak menimbulkan permasalahan lain dikemudian hari, yang tentunya
akan membawa efek negatif bagi perkembangan anak tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar