Selasa, 24 Juni 2014

Khitbah

BAB I
Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
B.RUMUSAN MASALAH
1. apa yang dimaksud peminangan?
2. Bagaimana dampaknya?
C.TUJUAN PENULISAN
1.Mengetahui maksud peminangan.
2.Mengetahui dampak peminangan.
BAB II
PEMINANGAN
A,Pengertian Pinangan
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata"khitbah"(melamar) dan"zawaj"(kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah;, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu. 
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya.
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', maupun undang-undang.
B. Syarat-syarat Khitbah
Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini:
a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain.
b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan:"Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya" 
Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan: “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti: “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang baik dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran.
Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
C. Melihat wanita yang dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw
>Batas yang boleh dilihat
Meskipun hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’.
Jumhur ulama’ menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan. Ini adalah batas yang umum aurat seorang perempuan.
Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.Adapun untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyapaikan pinangan bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkannyatanpa menyakitinya. 
D.Larangan Menyendiri dengan Tunangan
Haram menyendiri dengan tunangan, karena bukan mahramnya. Agama tidak memperbolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat saja, sedangkan perbuatan-perbuatan yang lainnya tetap haram. Akan tetapi apabila ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, dibolehkan.
Dari Jabir, Rosulullah saw bersabda
“……barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah sekali-kali menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai oleh mahramnya, sebab yang ketiga adalah setan”
E. Jeda waktu antara khitbah dan menikah.
Secara dalil nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih tentang keharusan adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad. Apakah harus sebulan, dua bulan, tiga bulan atau berapa lama waktu. Kalau pun jarak waktu itu dibutuhkan, barangkali sekedar untuk memberikan beberapa persiapan yang bersifat teknis.
Dengan demikian, seandainya kedua belah pihak telah siap segala sesuatunya, atau mungkin juga tidak terlalu merepotkan urusan teknis, akad nikah bisa digelar saat itu juga berbarengan dengan khitbah. Maksudnya, sesaat setelah khitbah diterima, langsung saja digelar akad nikah
f. Menikahi Wanita Tunangan orang Lain dan Pembatalan Tali Pertunangan
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung. Keadaan keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a)Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu dan secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b)Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c)Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan itu.
Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
G. Perempuan Melamar Laki-laki
Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya pada sang pria.
Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.
H. Akibat Hukum Pinangan
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan. Namun peminangan itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima. Meskipun demikian, pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara baik dan tdak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara pinangan tersebut tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan kemudian dalam pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
Hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
B. SARAN-SARAN
Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan.
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar