Tugas mid semester
Mata kuliah: hadis Ahkam
Dosen pengampu: Wahidullah, SHi, MH
Nama: Linda Alfi Lutfinda
Semester 5
Membuat pertanyaan dan jawaban dari makalah yang sudah dipresentasikan: Munakahat, Dasar Hukum Munakahat, Peminangan, Wali Nikah, Nikah Mut’ah
1. Bagaimana pandangan Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 mengenai pernikahan bawah tangan/siri (tidak mencatatkan pernikahannya di catatan sipil)
Jawab:
Menurut pandangan islam, nikah siri diperbolehkan/sah jika hal-hal yang menjadi rukunnya terpenuhi, yaitu rukun nikah. Karena pada dasarnya memang tidak ditemui dalam ayat Al-Qur’an ataupun Hadis membahas secara khusus tentang perintah pencatatan nikah. UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut kepercayaan masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Pasal ini menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh nikah siri. Namun lebih lanjut UU No.1 tahun 1974, pasal 2 ayat (2) menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka siapa saja pasangan yang tidak mencatatkan perkawinannya ke catatan sipil, akan mendapatkan sanksi pidana, yaitu sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai KUA yang menikahkan tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. Perkawinan dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Tidak adanya bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (ilegalitas) di hadapan negara. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak seorang istri dan anak-anak dari perkawinan tersebut. Karena akibat hukum bagi perkawinan yang tidak memiliki akte nikah, secara yuridis suami atau istri dan anak yang dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anak hanya diakui oleh negara sebagai anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Istri dan anak yang ditelantarkan oleh suami dan ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama. Demikian sebagai warga negara Indonesia yang baik, taat terhadap peraturan pemerintahan, hendaknya pasangan suami istri mencatatkan perkawinannya agar tidak menimbulkan fitnah perzinahan dan hal ini juga sebagai wujud dari ketaatan pada ulil amri seperti halnya yang di perintahkan oleh islam, dan diperkuat dalam firman Allah SWT “Wahai orang-orang beriman, patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulil amri diantara kamu” (QS. An-Nisa, 4: 59)
2. Bagaimana hukum pernikahan yang dirahasiakan (siri), apakah ada hadis sebagai dasar hukumnya?
jawab:
Mengenai pernikahan yang dirahasiakan, imam Malik menyatakan bahwa pernikahan tersebut batal, sebb pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedangkan pendapat imam Syafi’I dan imam Abu hanifah menyatakan hukumnya sah, tapi makruh dilakukan. Namun dari pendapat ulama’ ini tampak ada “Keberatan’ dari para ulama. Mengingat pada prinsipnya, Rasulullah SAW tidak setuju dengan hal ini. Dalam hadis disebutkan: Dari Amr bin Yahya al-Mazini, sesungguhnya Rasulullah SAW tidak senang pada nikah siri, sehingga pernikahan itu dirayakan dengan tabuhan rebana” (HR. Ahmad).
Pernikahan harus diumumkan disamping sebagai pemberitahuan atas berlangsungnya pernikahan, juga terkandung maksud agar masyarakat menjadi “saksi” atas adanya ikatan antara dua insan tersebut. Dan hal ini bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dua insan tersebut sudah ada tali pernikahan yang sah, dan menjauhkan mereka dari fitnah perzinahan. Jika ada salah satu dari dua insan tersebut melanggar komitmen pernikahan, minimal masyarakat dapat memberi “sanksi moral’ kepada pihak yang melanggar.
3. Bagaimana jika terjadi peminangan terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah raj’i, tetapi pernikahannya dilakukan setelah masa iddahnya selesai. Bagaimana hukum peminangannya dan pernikahannya setelah masa iddah itu selesai?
Jawab:
fuqaha berbeda pendapat, menurut imam malik perminangannya itu haram dan pernikahannya harus dibatalkan baik terlanjur berkumpul atau belum (Meskipun pernikahannya dilakukan setelah menunggu masa iddah itu selesai). Karena perempuan yang masih dalam masa iddah dianggap masih sebagai mahram bagi suami yang pertama. Menurut imam syafi’I akad nikahnya sah karena dilakukan setelah masa iddahnya selesai, akan tetapi peminangannya haram.
4. Bagaimana kita mengukur adil atau tidaknya seorang wali? karena salah satu syarat wali adalah adil?
Jawab:
Telah dikemukakan wali itu disyaratkan wali itu harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
6. Tidak sedang ihrom atau umroh.
adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang sholeh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat mungkar.
Namun ada juga yang mengartikan adil adalah cerdas. Maksudnya dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sangat baik atau seadil-adilnya.Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
“Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Ahmad ibn Hambal).
5. Bagaimana pandangan islam tentang nikah mut’ah dan apa sebab nikah mut’ah diharamkan?
Jawab:
• Nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilarang islam karena pernikahan mut’ah dibatasi oleh waktu. Misalnya satu hari, satu bulan, satu minggu, atau dalam satuan waktu tertentu.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Tholib ra. Al Bukhari dalam kitab Al Hiyal (6560) dan Muslim dalam kitab An-nikah, “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang jenis pernikahan Mut’ah dan (melarang) memakan daging keledai Ahliyah pada hari Khaibar.
Dahulu nikah mut’ah pernah di perbolehkan pada zaman Rasulullah, berdasarkan sebuah riwayat dari Jabir ibn Abdillah bahwa Salman ibn al-Akwa’ mengatakan:
Kami bersama tentara, kemudian Rasulullah SAW, datang dan bersabda: “Diizinkan kalian untuk mut’ah, maka mut’ahlah kalian”. Ibn Abi Zi’b berkata, Iyas ibn Salamah ibnu al-Akwa’ dari bapaknya, Rasulullah SAW bersabda: “Mana-mana laki-laki dan perempuan cocok. Maka bergaullah keduanya selama tiga malam sekiranya mereka ingin menambah atau ingin meninggalkannyamaka tinggalkanlah”. Kami tidak mengetahui, apakah hal ini khusus untuk kami ataukah untuk manusia umumnya. Abu Abdillah berkata dan Ali menjelaskannya dari Nabi SAW, Bahwa hal itu telah dinasakh (HR Al-Bukhari).
Berdasarkan ijma’ kecuali sebagian syi’ah dan tidak sah qa’idah mereka yang mengatakan untuk mengembalikan perselisihan kepada Ali padahal telah shahih dari Ali pendapatnya bahwa nikah mut’ah telah dihapus hukumnya.
Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib yang disebut dalam kedua kitab shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim:
هى رسول الله صلعم عن المتعة عا م خيبر
Artinya: Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada tahun khaibar (muttafaq alaih).
Ibnu Rusyd lebih tegas lagi menyatakan bahwakeharaman nikah Mut’ah didasarkan pada riwayat yang mutawatir.
Riwayat dari Sibrah al-Juhani ketika bersama-sama Rasulullah SAW, Rasulullah bersabda:
يا ايها النا س انى قد اذ نت لكم فىا لاستمتاع من النساء و ان الله قدحرم ذلك الى يوم القيا مة فمن كا ن عنده منهن شيئ فليخل سبيله رلا تأ خذوامما اتيتمو هن شيئا روه مسلمز
Artinya: Wahai manusia, aku pernah mengizinkan kalian kawin mut’ah dengan perempuan, dan sungguh Allah telah mengharamkan yang demikian sampai hari kiamat, barang siapa yang memiliki sesuatu (istri) maka hendaklah ditutup jalannya, dan jangan kalian ambil apa-apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikitpun (HR Muslim).
• Allah mengharamkan pernikahan jenis mut’ah karena pada dasarnya tujuan nikah adalah adanya kasih sayang, tinggal bersama dan membangun rumah tangga sebagaimana firman Allah:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikan-nya diantaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Ruum: 21). Sedangkan pada pernikahan jenis mut’ah pasti akan menelantarkan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan mut’ah. Selain itu juga nikah mut’ah mengandung banyak dampak negatif yang besar bagi umat, semisal tidak ada ketentuan masa iddah sehingga tidak bisa ditentukan siapa bapak biologis anak dari seorang perempuan yang melakukan nikah mut’ah. Karena itulah Allah SWT mengharamkan nikah mut’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar