Perang Obor adalah upacara/ritual yang dilakukan oleh di masyarakat Tegal Sambi untuk tolak bala juga sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi yang mereka peroleh, agar tahun-tahun mendatang semua warga masih mendapatkan rejeki dari yang Maha Kuasa.
Berdasarkan cerita turun temurun, tradisi perang Obor bemula dari kisah Ki Babadan, seorang penduduk desa Tegal Sambi pada jaman Kerajaan Demak, yang kaya raya. Pada suatu hari, Kiai Babadan, membeli sapi dan kerbau dalam jumlah yang banyak. Untuk merawat dan menggembalakan ternak-ternak tersebut, Ki Babadan mempercayakan kepada tetangganya yang bernama Ki Gemblong. Awalnya, berkat kepiawaian Ki Gemblong, ternak sapi dan kerbau milik Ki Babadan telihat gemuk dan sehat.
Perubahan terjadi ketika pada suatu hari, saat Ki Gemblong sedang menggembala ternaknya di tepian sungai. Di sungai yang berair jernih tersebut, Ki Gemblong melihat banyak sekali ikan berukuran besar. Air liurnya langsung menetes, membayangkan kenikmatan menyantap hidangan ikan. Ki Gemblong segera menangkap satu ekor ikan dan langsung diolah dengan cara dibakar. Kondisi ikan yang memang segar karena baru ditangkap, menjadikan ikan bakar olahannya terasa sangat lezat.
Akhirnya, setiap kali menggembala hewan ternak, yang terbayang didalam pikirannya hanyalah ikan bakar yang menggugah selera. Dan Ki Gemblong akan langsung menuju sungai, menangkap ikan, mengolahnya dan menikmatinya, tanpa memperdulikan lagi akan tanggung jawab memelihara ternak milik Ki Babadan. Pada suatu malam, Ki Babadan berkeliling untuk melihat ternaknya. Alangkah kecewanya Ki Babadan melihat kondisi ternaknya terlihat kurus, lemah, bahkan jumlahnya telah berkurang karena mati akibat penyakit. Ketika menanyakan sebabnya, Ki Gemblong tidak bisa menjelaskan. Seketika itu pula amarahnya memuncak. Obor dari pelepah kelapa yang berada ditangannya langsung dihantamkan ke kepala Ki Gemblong. Tidak terima dengan perlakuan tersebut, Ki Gemblong segera membakar pelepah daun kelapa yang ada didekatnya, dan menjadikannya senjata untuk menghadapi Ki Babadan.
Akhirnya terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kiai Babadan dan Ki Gemblong. Sengitnya pertarungan mengakibatkan terbakarnya kandang tempat menyimpan sapi dan kerbau milik Ki Babadan. Seluruh hewan di dalam kandang pun akhirnya katakutan dan lari tunggang-langgang.
Namun suatu keanehan terjadi, semua ternak sapi dan kerbau yang semula lemas akibat penyakit mendadak sembuh. Mengetahui kenyataan tersebut, mereka berdua pun akhirnya mengakhiri perkelahiannya. Sejak saat itulah masyarakat Desa Tegal Sambi meyakini bahwa dengan melakukan upacara Perang Obor, mereka dapat menolak wabah penyakit serta malapetaka yang akan menimpa desanya. Upacara Perang Obor dilaksanakan pada bulan Zulhijjah, tepat malam Selasa Pon. Acara dimulai dengan selamatan di tujuh tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tegalsambi.
Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan ini dilakukan di rumah kepala desa. Kemudian panitia akan menyiapkan gulungan pelepah daun kelapa dicampur daun pisang kering, sebagai obornya. Sore harinya (menjelang malam Selasa Pon), perangkat desa (biasanya bayan / seksi keamanan) akan meletakkan sesajen (berupa kendil berisi darah kerbau, sebagian jeroan, dan daging yang sudah dimasak) di tempat-tempat keramat tersebut.
Pada malam harinya, petinggi
desa yang telah menggunakan pakaian adat jawa, akan diapit dua pawang api dan sesepuh desa akan diarak oleh pasukan obor dari rumah menuju pusat upacara di perapatan jalan tengah desa. Di tempat ini mereka akan memanjatkan doa- doa memohon restu kepada dayang (penguasa bumi Tegalsambi), sambil membakar kemenyan, gending Kebo Giro pun diperdengarkan.
Tepat pukul 20.00, sekitar 50 orang dari empat penjuru desa akan menghambur ke tempat upacara dengan obor blarak yang menyala. Perang pun dimulai dan akan berlangsung selama hampir satu jam. Walaupun saat ini seluruh para peserta cenderung menggunakan pakaian, sepatu dan tutup kepala yang bisa melindungi badan mereka dari pukulan obor, tetap saja ada yang terluka, termasuk penonton yang terciprat api. Mereka akan langsung di bawa ke rumah kepala desa untuk diolesi dengan ramuan khusus yang berupa minyak kelapa murni yang dipadukan dengan bunga layu yang telah didoakan. Bunga yang telah layu tersebut adalah bunga yang diletakkan warga desa setiap malam jum'at di Pundhen desa. Ajaibnya, tak berapa lama luka seperti lecet atau melepuh akan sembuh dengan sendirinya dan tanpa meninggalkan bekas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar